Review Buku Menyusu Celeng, Tidak ada Perbedaaan antara Manusia dan Hewan!



First Review,
buku ini berjudul “Menyusu Celeng” karangan dari Sindhunata, seorang sastarawan yang beberapa karyanya sempat juga masuk dalam kategori best seller.

Seperti; 'Semar Mencari Raga', 'Putri Cina'. Buku ini menyajikan pokok imajiner dari seekor binatang, yakni Celeng. 'Menyusu Celeng' mengisahkan tentang kemunafikan, kekejaman, kejahatan, dendam, nafsu, dan perilaku manusia berwatak celeng.

Segala marah dan dendam pada politik amburadul dan wabah korupsi tak harus menimbulkan rusak, kehancuran, atau petaka tambahan.
Perlu disampaikan diawal, bahwa daripada analogi tumbuhan, Sindhunata lebih memilih analogi kebinatangan. Tebakan saya, mungkin karena karakter kebinatangan lebih kuat melekat dalam diri manusia.

Dalam novel ini, celeng diibaratkan sebagai seorang politikus yang haus akan tahta, uang dan lainnya. Menurut saya novel ini baik, karena Sindhunata sendiri pun mengakui ada sifat kecelengan dalam dirinya.

Diawal novel ini Sindhunata, mengambarkan sebuah celeng yang hidup di era orde baru, yang menariknya pembaca juga akan menduga-duga, karena era itu tidak disebutkan secara langsung oleh Sindhunata.

Di era itu banyak para celeng, namun hanya satu celeng besar yang mengatur segala hal dalam tata laku kehidupan masyarakat, dan di era itu juga, cap kiri dapat dengan mudahnya disematkan kepada siapapun.

Dengan romansa sastranya, pada era akhir orde baru akhirnya orang dengan gampangnya menangkap celeng yang menjadi simbol penguasa yang baru saja tumbang.
Tapi,tumbangnya penguasa itu tidak berarti pudarnya kekuasaannya. Kekuasaannya masih meninggalkan bekas, malahan jauh lebih kuat daripada yang diperkirakan orang.

Politik menjadi wilayah manusia menunjukkan naluri kebinatangan yang cenderung buas, rakus kuasa, mencegah yang baik berperan.

Tentu manusia politik tidak benar-benar ingin dipersamakan dengan binatang meski binatang masih begitu kuat mewakili; tikus, celeng, jago, ular, cicak, buaya, kampret, bahkan kecebong.

Sindhunata, justru dengan berani justru menegasikan kegagalan peran penguasa tradisional lewat kehadiran perempuan kurang waras. Perempuan itu stres, dianggap gila, dan labil.

Betapa celeng sangat lekat menyimbolkan kerakusan kekuasaan, kekuatan elite, dan bahkan perlambang kubu dalam hierarki politik modern. Kemaruk dalam hal politik sama artinya ngepet, terutama demi keinginan materialistis, dalam ritual mistik tradisional.

Indonesia masih dinodai orang-orang serakah duit dan menebar seribu muslihat. Daftar koruptor selalu bertambah. Buku tebal aib semakin tebal.

Hukuman-hukuman dan sinis dari publik belum bisa merampungi lakon korupsi. Mereka kebal malu dan dosa. Celeng itu berkeliaran dan beranak-pinak

Zaman celeng belum berakhir. Kita menanggung kutukan gara-gara celeng menghancurkan demokrasi dan pamer roman korupsi sepanjang masa. Kutukan demi kutukan jarang membuat kaum politik memiliki kehendak membenahi Indonesia.

Omongan dan ulah mereka kadang semakin mengotori Indonesia. Debat-debat tak berkesudahan, saling fitnah, dan membuat pabrik kebencian menjadikan demokrasi jauh dari bijak dan kebahagiaan. 

Kita berhak marah dan mendendam tapi berkemungkinan membuat situasi bertambah amburadul. Kita bingung bersikap dan berkata gara-gara kutukan terlalu berat. Korupsi itu terlalu melukai dan menghinakan mufakat kita berbangsa-bernegara.

Inti dari novel ini,  bercerita kemunafikan, keserakahan, dendam, kebencian, dan nafsu berkaitan lakon-lakon politik, seni, sosial, dan ekonomi berlatar Indonesia, sejak 1965 sampai sekarang. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat Mark Manson